Ads Here

Sunday, October 15, 2017

Biografi Zuhair bin Abi Sulma

A.  Kehidupan dan Suku Bangsa Zuhair Bin Abi Sulma
Nama lengkapnya adalah Zuhair bin Abi Sulma Rabi’ah bin Rayyah al-Muzani. Zuhair ibnu Abi Sulma termasuk ke dalam tokoh sastrawan Arab Jahiliyah periode awal. Ia adalah salah seorang dari tiga serangkai dari penyair Jahiliyyah setelah Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Ayahnya bernama Rabi’ah yang berasal dari kabilah Muzainah. Pada zaman Jahiliyyah kabilah ini hidup berdekatan dengan kabilah bani Abdullah Ghatafaniyyah, yang dimana mereka menghuni di daerah Hajir, Nejed, sebelah timur kota Madinah. Kabilah ini juga bertetangga dengan kabilah Bani Murrah bin Auf bin Saad bin Zubyan, saudara-saudara ayahnya.[1] Penyair ini amat terkenal karena kesopanan kata-kata puisinya. Pemikirannya banyak mengandung hikmah dan nasehat. Sehingga banyak orang yang menjadikan puisi-puisinya itu sebagai contoh hikmah dan nasehat yang bijaksana.
            Rabi’ah bersama isteri dan anak-anaknya tinggal dalam lingkungan kabilah Bani Murrah (kabilah Zubyan) dan kabilah Bani Abdullah Ghatafaniyyah. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Aus bin Hujr, seorang penyair terkenal dari Bani Tamim. Sementara Zuhair dan saudara-saudaranya, Sulma dan al-Khansa`, diasuh oleh Basyamah bin al-Ghadir, paman mereka yang juga seorang penyair. Dengan demikian Zuhair adalah keturunan kabilah Muzainah yang dibesarkan di tengah-tengah kabilah Bani Ghatafaniyyah.
          Buku-buku sejarah sastra klasik, maupun penelitian-penelitian terbaru tidak banyak menceritakan tentang kehidupan Zuhair kecil, selain bahwa ia hidup dan tinggal di lingkungan Bani Abdillah ibnu Ghathfan dan paman-pamannya dari Bani Murrah kabilah Dzubyan. Zuhair tumbuh berkembang di bawah pemeliharaan pamannya yang bernama Basyamah ibnu al-Ghadîr seorang penyair hebat sekaligus pemimpin yang dihormati lagi kaya. Saat meninggal dunia, Basyamah mewariskan kemuliaan dan akhlak yang baik kepada Zuhair, di samping keahlian dalam menggubah syair. Selain dari pamannya Basyamah, kepandaian Zuhair dalam menggubah syair juga diperoleh dari suami ibunya yang bernama Aus ibnu Hajar seorang penyair yang sangat terkenal dan menjadi guru sejumlah penyair pada masa itu seperti al-Nabighah al-Dzubyani. Bakat dan kecerdasan yang dimiliki Zuhair menarik perhatian Aus, sehingga ia memberikan perhatian lebih pada Zuhair, dan Zuhair banyak mengambil pelajaran syair yang bagus darinya. (Yusuf Farran, 1990: 33-34).

B.  Kehidupan sosial, Politik, dan Agama pada Masa Zuhair Ibnu Abi Sulma
a.    Kehidupan Sosial
Masyarakat Arab Jahili memiliki dua struktur sosial yang sangat kontradiktif satu sama lain. Pertama penduduk perkotaan (hadhari) yang hidup menetap, dan memiliki kehidupan yang mapan dan menyenangkan, kurang memiliki keberanian, dan lebih mencintai kekayaan, mereka terutama penduduk Yaman yang menurut sejarawan lebih suka bersenang-senang dan berpoya-poya, bangga menggunakan kain sutra, makan di piring emas dan perak, yang biasa mereka peroleh dari hasil berbisnis dan pertanian.[2] Bangsa Arab Yaman pada dasarnya adalah masyarakat holtikultural yaitu masyarakat yang sudah menetap dan menggunakan sistem bercocok tanam di ladang.
Kedua adalah masyarakat nomaden (badawi), yang memiliki kehidupan sebaliknya, mereka selalu berpindah-pindah tempat, dengan kehidupan yang tidak pernah lepas dari gejolak. Hal itu disebabkan oleh karena kondisi tanah Arab yang tandus, tidak ada mata air maupun sungai yang mengalir, sehingga tidak cocok untuk bercocok tanam. Kondisi seperti ini memaksa penduduk Arab Badawi untuk selalu mencari sungai-sungai dan daerah-daerah yang dicurahi hujan yang terdapat di gurun pasir, yang banyak ditumbuhi rerumputan, sehingga pada saat menemukan tempat seperti itu, seluruh kabilah keluar untuk mendapatkannya. Bila sudah habis, mereka mulai mencari tempat lain sebagai penggantinya. Kondisi seperti ini banyak digambarkan dalam syair-syair Arab Jahili. Para penyair banyak menyenandungkan tentang tumbuh-tumbuhan, musim semi, rerumputan, dan bunga, yang mampu membakar semangat bagaikan rasa panas yang menyengat.[3]
Selain sistem sosial hadlari dan badawi, sistem sosial lainnya yang tidak kalah penting dalam struktur sosial bangsa Arab adalah sistem kabilah. Kabilah adalah kelompok atau unit yang dibentuk berdasarkan sistem sosial masyarakat Arab. Kabilah merupakan keluarga besar yang meyakini bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu yang sama. Biasanya kabilah diberi nama dengan nama ayah seperti Rubai’ah, Mudhar, Aus, dan Khazraj. Mereka adalah nama-nama laki-laki yang dari mereka muncul generasi-generasi baru sebagai keturunan untuk kemudian dinasabkan kepadanya, dan hanya sedikit kabilah yang dinasabkan pada ibu seperti kabilah Khindaf dan Bajilah. Terkadang nama kabilah juga diambil dari suatu kejadian tertentu. Sebagai contoh, kabilah yang menetap dekat sumur air bernama Ghassan, ia dipanggil dengan kabilah Ghassan. Akan tetapi secara mayoritas mereka menasabkan kabilahnya pada ayah.
Di dalam sistem kabilah itu terdiri dari beberapa stratifikasi, yaitu:
1.  Abnâ al-Qabîlah, yaitu anggota kabilah yang memiliki ikatan darah dan keturunan. Kelompok ini merupakan ujung tonggak suatu kabilah.
2.  Abîd, yaitu hamba sahaya yang biasanya sengaja didatangkan dari Negeri tetangga terutama dari Habasyah.
3. al-Mawâli, yaitu hamba sahaya yang sudah dimerdekakan termasuk al-Khulâ`a(orang-orang yang dikeluarkan dari kabilah) seperti kelompok Sha`âlik yang sangat terkenal.[4]
b. Situasi Politik
Para sejarawan sepakat bahwa pemerintahan pada masa Jahiliyah yang berbentuk kerajaan mutlak hanya ada di Yaman. Pemimpin kerajaan yang paling terkenal adalah ratu Saba Balqis al-Himriyyah, yang diceritakan dalam kisah Nabi Sulaiman as. Sedangkan kota-kota dan perkampungan-perkampungan yang di sekitar Jazirah Arab belum menganut system pemerintahan sebagaimana Yaman, namun berbeda antara satu dengan lainnya. Dr. Jawad Ali dalam bukunya Tarikh al-Arab Qabla al-Islam menyatakan bahwa sebagian kota dan kampong terutama di Arab bagian Barat seperti Mekah tidak dipimpin oleh seorang raja, namun dipimpin oleh beberapa orang laki-laki (penguasa). Mereka tidak diberi gelar raja. Para pemimpin tersebut diberi diangkat berdasarkan perjanjian. Di Mekah, pusat kepemimpinan mereka dinamakan dengan Darun Nadwah.[5]
Zuhair hidup dalam situasi peperangan. Perang Dahis dan Ghabra’ telah memakan banyak korban, nyawa seakan-akan tidak berharga lagi. Perang yang terjadi antara Kabilah Abbas dan bani Dzubyan. Faktor peperangan ini terjadi akibat dampak dari perlombaan pacuan kuda. Beberapa orang mencoba mendamaikan dua suku tersebut, begitu juga Zuhair. Dalam pandangan mereka terdapat dua bangsawan yang dapat menyelesaikan permasalahan ini, yaitu Haram bin Sinan dan Harits bin Auf. Kedua bangsawan ini diharapkan mempu membayar tebusan lebih dari tiga ribu ekor unta. Haram bin Sinan dan Harits bin Auf bersedia membayar diyat tersebut dan akhirnya Kabilah Abbas dan Bani Dzubyan berdamai.[6]
c. Kondisi Keagamaan
Menurut Philip K. Hitti, berdasarkan syair-syair Jahili, orang Arab Badawi tidak banyak yang memeluk agama. Mereka kurang antusias, atau bahkan bersikap tidak peduli terhadap nilai-nilai religius-spiritual. Ritual-ritual yang mereka lakukan hanyalah untuk menuruti tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun temurun.[7] Untuk itu penulis buku Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, menganalogikan masyarakat Arab Jahili dengan lautan yang bergelombang, atau bagai gunung berapi yang mendidih, mereka tidak memeluk satu agama atau ideologi yang menjadi pegangan. Sebagian menyembah matahari, sebagian lainnya menyembah bulan dan bintang, ada juga yang menyembah malaikat atau dewa dan lain sebagainnya, atau bahkan ada yang tidak memegang kepercayaan apapun seperti atheis. Namun demikian yang paling dominan adalah kepercayaan mereka terhadap berhala (watsaniyah). Kehidupan bangsa Arab sangat dipengaruhi oleh berhala-berhala tersebut. Untuk itu mereka rela memberinya persembahan dan kurban, dan bersumpah atas namanya. Hal itu berlangsung hingga kedatangan Islam.[8]
Karena pengaruh berhala yang sangat kuat, setiap rumah penduduk Mekah memiliki berhala pribadi yang selalu disembah. Jika mereka hendak bepergian, maka orang yang terakhir harus mengusap berhala terlebih dahulu, dan pada saat tiba dari perjalanan, orang yang pertama tiba harus mengusapnya. Selain suku Quraisy, setiap rumah memiliki sesuatu yang mirip ka’bah dan letakkan di dalamnya berhala untuk disembah, diagungkan, serta diminta petunjuknya dan juga thawaf. Berhala-berhala tersebut terus disembah hingga kedatangan Islam.[9]
Selain diletakkan di rumah, setiap kabilah memilki berhala masing-masing sebagai simbol dan kebanggaan kabilah, seperti Wudd berhala kabilah Daumah al-Jandal, Jauf kabilah Kulaib, Yaghuts kabilah Jarsy, Hubal kabilah Quraisy diletakkan di dalam Ka’bah, Latta kabilah Thaif, Manat kabilah Aus dan Khazraj, dan lain sebagainya.[10]
Di samping kepercayaan yang telah disebutkan tersebut, ada juga beberapa orang yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani, hanya saja jumlah mereka sangat sedikit dan jarang muncul di tengah khalayak. Pemeluk agama Yahudi menempati kota Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang bermusuhan.[11]
Agama Nasrani tersebar di kabilah Rabi’ah dan Ghassan, serta sebagian kabilah Qudla’ah, hal ini karena mereka sering berhubungan dengan bangsa Romawi. Di kerajaan Hirah sendiri dari berbagai suku yang mendiaminya terdapat sebuah kabilah Arab yang biasa dipanggil dengan ‘al-‘Ibad’, yang merupakan keturunan Bani Taghlib yang memeluk agama Nasrani. Kota yang paling terkenal yang tempati pemeluk Nasrani adalah Nejran yang terletak di Yaman. Di antara penyair yang terkenal dari wilayah ini yaitu Qiss, ‘Adi ibnu Zaid dan Umayah ibnu abi al-Shilat. Dari sekian banyak penduduk Arab, terdapat kelompok yang mempercayai adanya Tuhan dan menyembahnya secara murni tanpa menyekutukannya, seperti Waraqah ibn Naufal.[12]

C.  Syair-syair Zuhair Bin Abi Sulma
Zuhair tumbuh di sebuah rumah yang diliputi aura syair. Ayahnya yang bernama Rabi’ah ibnu Rabah adalah seorang penyair. Demikian pula pamannya yang bernama Basyamah ibnu al-Ghadir dan juga suami ibunya yang bernama Aus ibnu Hajar, keduanya merupakan penyair Jahiliyah yang terkenal. Selain itu, kedua saudara perempuannya, yaitu Salma dan al-Khansa, keduanya penyair perempuan yang terkenal saat itu. Zuhair juga dikaruniai dua orang anak laki-laki yang juga menjadi penyair terkenal hingga masa Islam, yakni Ka’ab dan Bajirah. Dan lingkungan seperti ini tidak dimiliki penyair lain semasanya (Hasan al-Zayyat, 2005: 42).
 1. Gaya bahasa Syair Zuhair
Dalam menggubah syairnya, Zuhair banyak menggunakan tasybih (perumpamaan),isti’arah (metafora), dan majas melalui hal-hal yang bersifat konkrit untuk menggambarkan ide, emosi, dan imajinasinya. Selain itu syairnya ringkas, padat, banyak mengandung hikmah dan pelajaran.[13]
Para pengamat sastra Arab klasik sepakat menilai Zuhair lebih baik kualitas syairnya dibandingkan dengan penyair semasanya seperti Imru al-Qais dan al-Nabighah al-Dzubyani. Alasannya adalah:
1.      Syair-syairnya singkat padat dan tidak bertele-tele atau dalam ilmu balaghah disebut dengan ijaz, yaitu gaya Bahasa yang menggunakan sedikit lafaz, namun mengandung banyak makna.
2.      Memuji dengan baik dan menjauhi dusta dalam bersyair. Ia tidak memuji seseorang, kecuali benar-benar mengenal watak dan karakternya. Sebagai contoh:
على مكثريهم رَزق من يعتريهم     وعند المقلين السماحةُ والبذلُ
3.      Menjauhi lafaz dan makna yang menjelimet atau dirasa asing di telinga. Contoh syairnya yang mudah dicerna:
ولو أن حمدا يخلد الناس أخلدوا      ولكنّ حمد الناس ليس بمخلد
4.      Menggunakan bahasa yang baik, sehingga sedikit sekali penggunaan kata-kata yang buruk atau kasar. Oleh karena itu, ketika menggubah syair hija (ejekan) yang ditujukan untuk kaum tertentu, ia menyesali apa yang diperbuatnya.
5.      Di dalam syair-syairnya banyak mengandung perumpamaan-perumpamaan (amtsal) dan juga hikmah. Syair-syair hikmah yang tidak mudah difahami oleh bangsa Arab Jahiliyah saat itu. Syair-syair Zuhair juga banyak menginspirasi penyair-penyair hikmah muslim di kemudian hari.[14]

2. Analisa Terhadap Kandungan Syair
a. Identitas Penyair
رَأَيْتُ  المَنَايَا خَبْطَ عَشْوَاءَ مَنْ  تُصِبْ           تُـمِتْهُ  وَمَنْ  تُـخْطِىءْ  يُعَمَّرْ  فَيَهْرَمِ
Zuhair sangat terpukul oleh kematian orang-orang terdekatnya; Ayah kandungnya, telah meninggal dunia pada saat dia masih kecil, semua anak-anaknya yang terlahir dari istri pertamanya, Ummu Aufa dan Salim, putranya yang terlahir dari istri keduanya.
b. Kematian Pasti Akan Tiba Saatnya
وَمَنْ  لَـمْ يُـصَانِعْ في  أُمُورٍ  كَثِيرةٍ           يُـضَرَّسْ   بِأَنْيَابٍ  وَيُـوْطَأْ   بِمَنْسِمِ
Siapa yang tidak berprilaku baik dalam berbagai urusan
Ia akan tertancap oleh tajamnya taring dan terinjak-injak oleh telapak kaki unta
c. Hukum Kausalitas
وَمَنْ يَـكُ ذَا فَـضْلٍ فَيَبْخَلْ  بِفَضْلِهِ          عَلَى  قَـوْمِهِ  يُسْـتَغْنَ   عَنْهُ  وَيُذْمَمِ
Siapa yang kaya, tapi ia pelit
Atas kaumnya, ia tidak akan berguna dan akan dicerca.
Tradisi masyarakat Arab Jahili dalam hal berinteraksi yang lebih kepada lisan daripada tulisan, mendudukkan puisi sebagai karya sastra Arab yang lebih berkembang pesat daripada karya yang berbentuk prosa. Salah satu fungsi puisi pada saat itu adalah untuk mencela atupun memuji seseorang, suku maupun seorang penguasa. Dengan berpuisi juga dapat menentukan tinggi rendahnya martabat atau kehormatan seseorang. Oleh karena itulah banyak dari para penguasa yang menggunakan para jasa sastrawan untuk menandingi penguasa lain dalam merespon kondisi yang mengancamnya. Para sastrawan akan memuji ataupun mencela perilaku seorang penguasa lainnya.[15]
d. Persahabatan
Pada umummnya, seseorang yang baru saja kenal, akan merasa asing. Ia terkadang salah dengan praduganya. Ia akan menganggapnya sebagai teman, padahal ia adalah musuh baginya. Begitu pula sebalikya, orang yang baru saja mengenal seseorang akan menganggapnya sebagai musuh, padahal ia adalah teman baginya. Namun demikian, orang yang selalu menghargai dirinya, ia akan selalu dihormati oleh orang lain. Berpositif thinking terhadap apa yang terjadi, termasuk salah satu penghormatan seseorang terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
وَمَهْمَا  تَـكُنْ عِنْدَ أمرِيءٍ مَنْ خَلِيقَةٍ          وَإِنْ  خَالَهَا  تَخْفَى  عَلَى  النَّاسِ  تُعْلَمِ
Seseorang memiliki karakter, tabi’at tersendiri
Walaupun ia menyembunyikannya, pasti akan diketahui
Manusia diciptakan dengan memiliki karakter tabi’at, yang bervariasi. Di dalamnya terdapat karakter baik dan buruk. Kedua karakter tidak dapat disembunyikan. Perjalanan waktu akan  membuka karakter manusia yang sebenarnya yang terkandung dalam diri manusia tersebut.[16]




[1] Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965),  hlm. 300.
[2] Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24
[3] Ibid.
[4]  Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965), cet. 2, hal. 67.
[5]  Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, hlm. 27.
[6] Muflihah. 2016.  Analisa Terhadap Puisi Syair Karya Abi Sulma. hlm. 53.
[7] Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 120.
[8] Nabilah Lubis, al-Mu`în fi al-Adab al-Arabi wa T ârikhihi, hal. 22-23
[9] Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 34
[10] Nabilah Lubis, Op. Cit, hlm. 22-23
[11] Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hlm. 26.
[12] Ibid. hlm. 27.
[13] Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1916), cet.16, h. 69
[14] Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi,hlm. 71-72
[15] Muflihah, 2013,  Analisa Terhadap Puisi Syair Karya Abi Sulma..Jurnal Arabia. Vol. 5, No.   1. hlm. 53.
[16] Ibid. hlm.56 

No comments:

Post a Comment